TimesAsiaNews.com | Batam – Gabungan Awak Media (GAM) Batam memberikan apresiasi sekaligus penghargaan kepada Zainal Abideen. Seorang Tokoh Pejuang Kemanusiaan yang membela Warga Negara Indonesia (WNI) di Australia, dan Dia ingin bertemu langsung dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Dalam kesempatan ini Zainal Abideen Berkunjung ke Indonesia, tepatnya di Kota Batam dan disambut baik oleh sejumlah Jurnalis Kota Batam di hotel Planet Holiday, Sei Jodoh, Kota Batam, pada Ahad (09/01/2023).
Zainal Abideen bercerita tentang kisah perjuangannya di tahun 1976-1980 dalam memperjuangkan Hak-Hak WNI yang menetap di Cristmast Australia, bukan hanya Warga Negara Indonesia yang di perjuangkan namun Warga Negara Singapore, Malaysia dan China.
Menurut Zainal Abideen yang termasuk salah satu Tokoh Perjuangan Kemanusiaan ini, bahwa apapun konsekuensi yang Ia hadapi terkait pembelaannya terhadap warga negara manapaun akan tetap selalu diperjuangkan walau penuh dengan tantangan di lapangan.
“Perkembangan dan defisnisi multikulturalisme terjadi di tahun
1976 sampai 1983, yaitu pada periode Pemerintahaan Konservatif Fraser,” ungkapnya.
Abideen juga menjelaskan bahwa
terbukanya jalan menuju kekuasaan baginya di tahun 1975, terjadilah sebuah kejutan bagi banyak penduduk, dan ini kata Abideen akan terus diperjuangkan Hak-hak WNI tersebut, dan juga bertanggung jawab atas sejumlah reformasi lanjutan yang telah memperkuat multikulturalisme sebagai sebuah filosofi dan sebuah kebijakan.
“Perubahan-perubahan ini diarahkan untuk mendorong keanekaragaman budaya dalam masyarakat Indonesia, Singapore, Malaysia dan China yang berada di Australia,” tambahnya.
Salah satu yang sangat signifikan dari reformasi ini, menurut Abideen adalah
perluasan Departemen Imigrasi tingkat Commonmwealth (Negara Persemakmuran) yang memasukkan Ethnic Affairs (Urusan Etnik). Sebagai tambahan.
Pemerintahan Fraser sendiri adalah yang mengawasi penciptaan Dewan Kependudukan dan Imigrasi Australia (the
Australian Population and Immigration Council) atau APIC.
Selama periode ini, titik fokus kebijakan multikultural terutama terletak pada
Hak-hak kaum migran untuk melakukan perbedaan kebudayaan, bukannya atas hak-hak sosial dan politik mereka dari Pemerintah.
Fraser juga mengembangkan konsep
multikulturalisme untuk merujuk pada kemungkinan sebuah kebudayaan Australia masa depan yang telah memasukkan unsur-unsur dari tradisi budaya yang beranekaragam.
Mengutip dari laporan Galbally, bahwa Perkembangan yang paling signifikan selama periode ini, adalah yang ditugaskan Fraser di tahun 1977, sebagai Menteri Imigrasi.
Laporan ini memuat rekomendasi yang menegaskan komitmen pribadi PM Fraser
dalam memperkuat multikulturalisme di Australia.
Di tahun 1978, Zainal Abideen menyampaikan laporan berjudul The
Review of Post-Arrival Programs and Services to Migrans pada Pemerintah Australia. Laporan ini merupakan upaya besar pertama untuk menciptakan sebuah kerangka konkrit penyusunan dan prorgram-program kebijakan multikultural yang mempunyai fokus berjangka panjang. dan reaksi atas rekomendasinya.
Di samping itu, mengungkapkan penyusunan filosofi dalam bab kebijakan yang mendukung definisi
asli multikulturalisne. Tak ada keraguan bahwa ini adalah sebuah laporan cikal bakal berkembangnya kebijakan multikultural dan praktek-prakteknya.
Ia juga mempengaruhi semua laporan-laporan lanjutan sampai dengan revisi di tahun 1995 atas Agenda Nasional untuk Multikultural Australia (National Agenda for a Multicultural Australia).
Laporan itu membuat rekomendasi-rekomendasi berkaitan dengan program permukiman awal, penyediaan kursus-kursus bahasa Inggris dan memperbesar akses kaum migran pada sistem-sistem hukum, kesehatan dan kesejahteraan serta pada
lapangan kerja.
Sejumlah rekomendasi diterima oleh Pemerintahan Fraser,
Ia juga menyampaikan bahwa dalam permasalahan tersebut telah memberi dampak yang signifikan sejauh bahwa ia dengan kuat menanamkan rasa kemanusiaan dalam memenuhi hak dan kewajiban masyarakat Indonesia, Singapore, Malaysia dan China, yang juga menanamkan multikulturalisme dalam sistem politik Australia ke dalam masyarakat yang lebih luas.
“Sebelumnya, Pemerintahan Whitlam telah membuat kemajuan tambahan ke arah pengakuan pada kepentingan-kepentingan khusus orang dari latar belakang bahasa non Inggris,” jelasnya saat diwawancarai ketika berkunjung di studio Alila, Tiban, Kota Batam.
Beberapa paragraf dikutip dari buku karangan Zainal Abideen, salah satu pendiri Persatuan Pekerja Pulau Christmas, berbicara tentang bekerja di Pulau Christmas, 1966 hingga 1969; kembali ke Christmas Island pada tahun 1974; bagaimana UCIW didirikan; membangun dukungan untuk serikat pekerja; serikat pekerja lain di pulau itu; pelecehan dari orang kulit putih di pulau itu; BPC mencoba untuk membubarkan serikat pekerja melalui Raj dan Grup Reformasi; Michael Grimes; Prestasi Gordon Bennett; dan kendali Bennett atas serikat pekerja, BPC, dan administrasi. (red)